Sepertinya kontroversi yang mengiringi sepak terjang Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Halmahera Utara (Halut) tidak akan segera berakhir. Pada Rabu 21 Juli 2010, KPUD kembali mengadakan Rapat Pleno Terbuka terkait dengan pengundian nomor urut. Namun sungguh disayangkan bahwa perhelatan yang baik ini justru dimulai dengan pelanggaran terhadap pasal 37 ayat 1 Undang-Undang 22 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa undangan disampaikan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum rapat dimulai. Pada hari itu, para kandidat Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu Kada) Halmahera Utara 2010 menerima undangan pada jam 09.00 WIT, padahal jadwal rapat dilaksanakan pada pukul 10.00 WIT.
Kontroversi berlanjut terkait dengan keabsahan rapat pleno, karena sejak awal rapat dimulai sampai rapat tersebut berakhir, anggota KPUD yang hadir hanya 3 (tiga) orang saja. Padahal pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, menyebutkan bahwa “Rapat Pleno KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya 4 (empat) orang anggota KPU Kabupaten/Kota yang dibuktikan dengan daftar hadir. Namun demikian pimpinan rapat tetap bersikeras melanjutkan rapat pleno, tanpa ada satu dalil pun yang dapat mendukungnya.
Interupsi mengenai keabsahan rapat yang dilakukan para kandidat bupati dan wakil bupati sebagai peserta rapat, dijawab pimpinan rapat (Ketua KPUD - B. Wagono) dengan menggunakan ketentuan yang ada dalam pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007. Pasal tersebut berbunyi demikian: “Dalam hal tidak mencapai kuorum, khusus rapat pleno KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk menetapkan hasil Pemilu ditunda selam 3 (tiga) jam. Pasal ini jelas mengatur tentang pengambilan keputusan dalam penetapan “hasil pemilu”, sehingga tidak bisa digunakan menjadi dalil bagi keabsahan rapat pleno penentuan nomor urut.
Dasar hukum yang dipakai KPUD terkait keabsahan rapat, ternyata juga tidak mendapat pembenaran dari Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) sebagai “wasit” dari proses penyelenggaraan Pemilu Kada ini. Namun demikian, pernyataan Panwaslu serta interupsi dari perserta rapat dianggap angin lalu dan tidak ditanggapi. Malah, pimpinan rapat mengatakan bahwa forum ini bukan Mahkama Konstitusi (MK), sehingga tidak perlu berdebat mengenai aturan yang ada. Sungguh ini merupakan argumen yang sangat aneh dan sulit diterima logika. Padahal pada pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 ada point yang menyebutkan bahwa penyelenggara pemilu antara lain berpedoman kepada asas: kepastian hukum dan profesionalitas. Argumen subjektif ini jelas semakin membuat pemberlakuan aturan menjadi semakin tidak jelas, tidak tetap, tidak konsisten dan tidak konsekuen lagi.
Rendahnya pemahaman dan penguasaan terhadap instrumen perundangan yang terkait, jelas menunjukan bahwa anggota KPUD HALUT tidak profesional dalam menjalankan tugas sebagai penyelenggara Pemilu Kada. Kapabilitas serta akuntabilitas mereka sangat diragukan, karena dampak dari berbagai keputusan yang diambil semakin membuat kontroversi terhadap pelaksanaan Pemilu Kada Halut 2010 belum akan berakhir.