24 January 2011

Pemekaran Bukan Solusi !

Malut Post, 25 Januari 2011.

Add caption
Desentralisasi merupakan salah satu anak kandung dari reformasi. Desentralisasi lahir, karena adanya tuntutan agar pengelolaan pemerintahan tidak lagi bersifat sentralistik yang cenderung mengabaikan aspirasi, peran serta dan pemberdayaan masyarakat daerah. Sebagai anak kandung reformasi, desentralisasi kemudian mulai diwujudkan kedalam pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah ini dipandang sebagai jalan untuk mewujudkan empat hal penting yaitu: peningkatan pelayanan publik, tata kelola pemerintah yang baik (good governance), peningkatan kesejahterakan masyarakat, dan adalah peningkatan daya saing daerah. Sejumlah isu penting kemudian mulai berkembang seiring dengan berjalananya otonomi daerah. Salah satunya adalah terkait dengan pelaksanaan pemekaran daerah.

Pemekaran daerah adalah proses membagi daerah otonom yang sudah ada menjadi dua atau lebih daerah otonom baru berdasarkan UU RI nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemekaran itu sendiri diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik demi terwujudnya upaya untuk mensejahteraan masyarakat. Selain itu, pemekaran diharapkan membuka keterisolasian masyarakat terhadap pembangunan, masyarakat memiliki porsi yang besar untuk aktif terlibat dalam proses pembangunan, optimalisasi pengembangan berbagai potensi sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia yang selama ini belum tergarap dengan baik serta muncul sejumlah pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru agar masyakat memiliki taraf hidup yang lebih baik.

Pemekaran daerah salah kaprah

Suatu konsep yang baik, dalam pelaksanaanya dilapangan belum tentu dapat dipraktikan dengan baik pula. Pemekaran daerah sebagai implementasi dari desentralisasi adalah baik, tetapi dalam pelaksanaanya cenderung diselewengkan. Menurut sejumlah pakar, akibat dari pemekaran daerah justru memperburuk kondisi daerah induk dan daerah otonom baru. Ini terjadi karena sumber penerimaan tergantung pada Pusat, dan harus dibagi menjadi dua. Akibatnya, kapasitas fiskal semakin melemah. Menurunnya kapasitas fiskal akan berdampak menurunnya kemampuan pembiayaan pelayanan publik secara keseluruhan. Sehingga jangan heran kalau sejumlah daerah mengalami defisit angaran yang begitu besar dan tergopoh-gopoh untuk membiayai layanan publiknya.

Daerah yg lemah secara ekonomi akan sulit membangun daerahnya pada jangka panjang, karena tidak selamanya daerah otonom baru akan ditunjang oleh pemerintah pusat. Pemerintah daearah yang berhasil dapat dinilai dari adanya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) serta kesejahteraan masyarkatnya. Bagaimana bisa disebut berhasil jika PAD tidak mampu membiayai operasional birokrasi serta DPRDnya. Sungguh ironis jika daerah setiap bulannya harus berhutang untuk membiayai birokrasi dan DPRD.

Sekretaris Ditjen Otonomi Dae­­rah Kemendagri, Sonny Su­marsono dalam salah satu kesempatan pernah mengungkapkan bahwa dari 205 wilayah yang telah dimekarkan, 80 persen bermasalah. Alih-alih untuk mensejahterakan masyarakat, yang terjadi adalah masyarakat semakin terpuruk dengan buruknya tata kelola daerah. Pemerintah dari pusat sampai ke daerah dibebani dengan persoalan alokasi anggaran yang ternyata lebih besar untuk fasilitas pejabat, biaya perjalanan dinas dan administrasi kepemerintahan. Sementara itu perhatian kepada program-program pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat serta program lain-nya yang memiliki dampak langsung terhadap kepentingan masyarakat menjadi terabaikan.

Bahkan presiden SBY pun pernah menyinggung bahwa dalam pemekaran daerah justru yang terjadi adalah anggaran mengalir banyak sekali untuk membeli mobil, maupun untuk membangun gedung. Padahal menurut presiden, seharusnya yang utama dari adanya pemekaran daerah yaitu diperhatikan kualitas pelayanan publik dan pembangunan yang menyetuh setiap warga masyarakat.

Fakta bahwa di wilayah Maluku Utara masih terdapat sejumlah wilayah yang tertinggal, coba dijawab dengan usulan pemekaran daerah yang justru tidak menyelesaikan masalah pokoknya. Kalau yang menjadi masalah pokoknya adalah kesenjangan pembangunan maka jawaban sederhananya adalah dengan melakukan pemerataan pembangunan.

Pemerataan pembangunan tidak harus dicapai melalui pemekaran dearah, karena akan memperburuk keadaan. Bagi wilayah yang tidak memiliki potensi untuk mandiri justru akan memberatkan daerah induk dan pemerintah pusat yang harus menanggung berbagai biaya yang tidak perlu, seperti membangun kompleks gedung perkantoran dan biaya aparatur. Padahal jumlah dana yang sama bisa dipakai untuk melaksanakan berbagai program yang terkait langsung dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Isu primordial yang mengemuka

Pelaksanaan proses pemekaran daerah harus didasarkan pada argumen yang rasional dan bukan emosional. Agar rasional, maka pemekaran harus melalui suatu studi kelayakan yang objektif dan independen. Objektif artinya dapat dipertanggunjawabkan secara ilmiah, bukan secara emosional mengedepankan isu-isu primordial seperti homogenitas etnis ataupun agama. Independen artinya hasil dari studi bebas dari intervensi oleh “pesan sponsor” yang cenderung memanipulasi hasil studi bagi kepentingan mereka.

Namun patut disayangkan bahwa sejumlah elit politik/birokrasi cenderung untuk memilih mengunakan cara yang tidak cerdas dengan mengedepankan sentimen primordial untuk menekan pihak-pihak yang terkait agar meloloskan ide pemekaran wilayah. Akibatnya sudah bisa diduga bahwa pemerkaran akan gagal karena tidak melalui analisis komprehensif secara teknis, administratif, politik dan potensi daerah.

Menjawab kesenjangan pembangunan

Kesenjangan pembangunan tidak selamanya harus dijawab melalui pemekaran daerah, karena persoalan sesungguhnya terletak pada unsur pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif pada level provinsi maupun kabupaten/kota) yang gagal menjalankan tugasnya untuk melaksanakan pembangunan secara merata. Kalau sudah seperti ini, maka esensi otonomi daerah dalam hal adanya peningkatan kemampuan prakarsa dan kreatifitas pemerintahan daerah menjadi tidak terpacu, pembangunan berjalan ditempat dan membuat berbagai masalah domestik tidak terselesaikan.

Pemerintahan yang gagal ini antara lain disebabkan oleh: tidak profesionalnya mereka sebagai salah satu unsur pelaku pengembangan daerah. Pemerintah daerah sepertinya tidak siap untuk memangku berbagai wewenang yang didesentralisaskan kepadanya.

Secara teknis, ketidakprofesionalan ini tercermin dari tidak adanya kemauan dan kemampuan untuk melahirkan serta melaksanakan program peningkatan kesejahteraan masyarakat yang merata dan tepat sasaran. Ini di-perparah dengan belum berkembangnya koordinasi dan kerjasama yang sinergis, antara pemerintah daerah dengan pelaku pembangunan lainnya seperti pihak swasta, lembaga non pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada kepala daerah yang tidak cocok dengan kepala daerah yang lain, ataupun adanya perbedaan kepentingan antara unsur pemerintahan di provinsi dengan unsur pemerintahan di kabupaten/kota, sehingga mereka tidak dapat bekerjasama. Pelaku pembangunan, khsusunya pemerintah deaerah justru terjebak dalam konflik kepentingan yang sesungguhnya bukan merupakan sesuatu yang substansial bagi pembangunan.

Selain itu, sikap mental dari elit yang terkait dengan ketulusan dan dedikasi terhadap kepentingan masyarakat secara keseluruhan dinilai masih rendah. Elit cenderung memperhatikan secara sempit kepentingan kelompoknya dan tidak sadar bahwa berbagai jabatan yang mereka emban itu memiliki tanggung jawab yang luas untuk membela kepentingan seluruh kelompok masyarakat tanpa membeda-bedakan etnisitasnya, keagamaanya ataupun pilihan politiknya.

Seluruh unsur penyelenggara pemerintahan mulai dari Gubernur, Bupati, Walikota dan perangkat daerah lainnya seharunya segera berbenah diri untuk menjadi profesional. Demikian juga dengan lembaga legislatif, yang harus berperan penting sebagai penyeimbang yang kritis terhadap berbagai program pembangunan dan bukan malah menjadi stempel atas kebijakan-kebijakan yang tidak tepat.

Kalaupun pemerintahan (eksekutif/legislatif) sudah tidak bisa diharapkan lagi untuk dapat menjamin terlaksananya pembangunan yang merata, maka perlu bagi seluruh elemen masyarakat untuk bangkit memajukan masyarakat sipil sebagai kekuatan penekan agar pemerintah benar-benar memperhatikan pembangunan yang merata di Maluku Utara.

No comments:

Post a Comment