03 May 2011

Otonomi HALUT Gagal, Mari Berbenah!

Radar Halmahera, 3 Mei 2011.
Hasil Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD) terhadap 463 daerah otonom, untuk pertama kalinya diumumkan pemerintah secara resmi pada tanggal 25 April 2011. Pengumuman ini menjadi “pukulan” tersendiri bagi Kabupaten Halmahera Utara (Halut), karena wilyah ini menjadi salah satu daerah dengan kinerja terendah. Halut bersama 4 daerah lainnya yaitu: Kabupaten Parigi Moutong, Supiori, Tolikara, dan Kabupaten Seram Bagian Timur berada dalam 5 besar daerah dengan tingkat kinerja terendah.

Ironisnya, keterpurukan kelima daerah otonom ini menjadi kontras dengan kemajuan yang terjadi pada sebagian besar daerah lainnya. Hasil resmi EKPPD yang diumumkan sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 120-276 tertanggal 21 April 2011, yang menunjukan bahwa dari 430 kabupaten/kota, 351 meraih kinerja tinggi, 74 berkinerja sedang dan 5 daerah berkinerja rendah. Selain itu, kelima daerah tersebut merupakan daerah otonom baru hasil pemekaran medio 1999-2009 yang justru tidak memperoleh kemajuan jika dibandingkan dengan daerah otonom lain yang semakin berkembang.


Perbaiki Kinerja


Hasil EKPPD ini walaupun mengecewakan, tentunya harus dapat diterima dengan kebesaran hati. Karena penerimaan ini akan menjadi dasar atau batu penjuru bagi perbaikan kinerja pemerintahan daerah Halut kedepan. Ada dua hal mendasar yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kinerja pemerintahan daerah. Pertama adalah dengan memenuhi berbagai indikator penilain yang garis besarnya termuat dalam PP Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman EPPD, dan kedua adalah menciptakan kepemimpinan yang mampu menunjang implementasi kebijakan daerah.

Pemenuhan berbagai indikator penilaian kinerja terkait dengan perbaikan menyeluruh dalam tataran pengambilan kebijakan daerah serta tataran implementasi kebijakan daerah. Pada tataran pengambilan kebijakan daerah, terlalu berlebihan jika kita mengharapkan adanya terobosan atau inovasi baru penyelenggaraan pemerintahan daerah. Mungkin belum perlu bagi kita untuk membebani pemerintahan daerah yang ada sekarang dengan kerja kreatif yang inovatif, tetapi sekurang-kurangnya harus ada perbaikan pada beberapa aspek yang menjadi standar pelaksanaan kebijakan daerah. Sejumlah aspek tersebut antara lain terkait dengan keselarasan antara kebijakan pemerintahan daerah dengan kebijakan pemerintah (pusat). Sesungguhnya aspek ini tidaklah sulit untuk dipenuhi, karena sudah ada istrumen yang mendukungnya dan dapat dijadikan pedoman, seperti: (1) UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025; (2) Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasioal (RPJMN) 2010-2014. Dari instrumen yang ada serta mengkombinasikannya dengan berbagai prioritas lokal, pemerintah daerah tinggal menterjemahkannya menjadi kebijakan daerah yang bisa selaras dengan kebijakan pemerintah.

Selain itu, perlu juga diperhatikan intensitas dan efektivitas proses konsultasi publik antara pemerintah daerah dengan masyarakat atas penetapan kebijakan publik yang strategis dan relevan untuk daerah. Agar efektif, setiap proses konsultasi publik jangan hanya dijadikan sebagai forum formalitas, yang hanya dilakukan untuk memenuhi kepatutan dipermukaan saja, tetapi substansi dari konsultasi publik harus benar-benar dilaksankan. Konsultasi publik yang sifatnya formalitas membuat aspirasi masyarakat tidak terserap sehingga yang mengemuka adalah kepentingan pemerintah saja. Kalau seperti ini yang terjadi, maka tidak ada keterpaduan antara kepentingan pemerintah dengan kepentingan masyarakat sehingga kebijakan yang akan dihasilkan nanti timpang dan tidak mampu memenuhi kebutuhan publik. Oleh karena itu, kedepannya Halut harus dapat mengembangkan konsultasi publik yang substantif agar efektivitasnya dapat dipertanggungjawabkan.

Aspek lain yang perlu dibenahi terkait dengan pengelolaan dan pertanggunjawaban keuangan daerah. Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BKP) pada semester II tahun 2010, terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2009, LKPD Halut bersama semua daerah otonom di Provinsi Maluku Utara (kecuali Kota Tidore Kepulauan) termasuk LKPD Provinsi diberikan opini tidak wajar (TW). TW adalah opini terendah dalam tingkatan pemberian pendapat hasil audit, yang artinya seluruh laporan keuangan tidak memberikan keyakinan kepada BPK sebagai auditor dalam pemeriksaannya. TW diberikan karena adanya kelemahan dalam pengendalian intern keuangan pemerintah daerah serta ketidakpatuhan entitas terhadap ketentuan perundang-undangan dalam kerangka pelaksanaan APBD dan pelaporan keuangan. Kedua persoalan tersebut dapat diatasi dengan membenahi pengendalian fisik atas aset, mengatasi kelemahan manajemen kas, memperbaiki akurasi pencatatan transaksi, meningkatkan disiplin anggaran dan pengajuan anggaran yang tepat waktu serta menjamin adanya kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku.


Butuh Kepemimpinan Kuat


Selain pada tataran pengambilan kebijakan daerah, pembenahan penting juga dilakukan pada tataran implementasi kebijakan daerah. Walaupun merupakan satu kesatuan dari proses kebijakan publik, implementasi adalah kunci dimana visi maupun tujuan luhur kebijakan daerah dapat diaplikasikan. Implementasi selalu rumit, karena didalamnya melibatkan berbagai macam kepentingan yang berbeda-beda di masyarakat. Perbedaan kepentingan dapat menyebabkan perbedaan interpretasi (yang disengaja maupun tidak disengaja) terhadap maksud dan tujuan dari kebijakan yang diambil. Perbedaan interpretasi dapat menyebabkan terjadinya konflik dan kebuntuan serta memungkinkan terjadinya penyimpangan konsep dasar kebijakan publik. Untuk mengatasinya diperlukan kepemimpinan yang kuat yang mampu menjembatani berbagai perbedaan yang ada serta mampu menjadi inspirasi bagi keberhasilan pelaksanaan kebijakan.

Kepemimpinan publik yang kuat bukanlah kepemimpinan otoriter yang mempertahankan kekuasaanya dengan cara yang represif dan menghalalkan segala cara. Paradigma kepemimpinan ala “orde baru” tersebut seharusnya sudah ditinggalkan. Kepemimpinan yang kuat dalam paradigma baru adalah kepemimpinan yang dapat menjalankan fungsinya secara persuasif, mampu mempengaruhi dan membawa perubahan positif di masyarakat. Kepemimpinan seperti ini memiliki visi jelas terhadap arah kebijakan pembangunan daerah, memiliki kemampuan teknis untuk mengelola dan mengkoordinir aparatur pemerintahan daerah, serta memiliki inisiatif untuk mengembangkan sinergi antar lembaga pemerintahan yang ada di level yang sama maupun dengan level berbeda (lebih rendah atau lebih tinggi).

Proses rekrutmen pemimpin melalui pemilihan umum (pemilu) daerah sudah dua kali dilaksankan di Halut, namun demikian, hasilnya belum memenuhi harapan. Pemilu legislatif maupun pemilu kepala daerah baru sebatas menghasilkan pejabat dan belum mampu menghasilkan sosok pemimpin yang dapat melaksanakan fungsi kepemimpinan dengan baik. Jangan-jangan para pejabat kita lupa akan tugas kepemimpinan yang harusnya mereka emban, atau bisa saja mereka bukanlah orang-orang yang sesunggunya berkualitas dan dipilih rakyat, tetapi hanya oknum yang diuntungkan karena proses rekrutmen yang manipulatif.

Bercermin pada hail Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, maka sudah sepantasnya-lah para pejabat dan aparatur pemerintahan Halut sadar dan menunjukan kesediaan untuk mulai membenahi proses pengambilan kebijakan serta proses implementasi kebijakan daerah agar kedepan Halut tidak terpuruk. Masyarakat siap mendukung atas setiap upaya positif yang dikembangkan. Mari berbenah!

No comments:

Post a Comment